Senin, 07 Maret 2011

Fotoperiodisme & Vernalisasi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Pembungaan, pembuahan, dan set biji merupakan peristiwa-peristiwa penting dalam produksi tanaman. Proses-proses ini dikendalikan baik oleh lingkungan terutama fotoperiode dan temperatur, maupun oleh faktor-faktor genetik atau internal. Salah satu proses perkembangan yang harus tepat waktu adalah proses pembungaan. Tumbuhan tidak bisa berbunga terlalu cepat sebelum organ-organ penunjang lainnya siap, misalnya akar dan daun lengkap. Sebaliknya tumbuhan tidak dapat berbunga dengan lambat, sehingga buahnya tidak sempurna misalnya datangnya musim dingin. Kejadian tersebut penting artinya bagi tumbuhan yang hidup di daerah 4 musim, sehingga mereka harus benar-benar dapat memanfaatkan saat yang tepat untuk melakukan perkembangaan nya. Tmbuhan semusim (annual plant) harus memanfaatkan waktu diantara musim dingin. Tumbuhan dua musim (biennial plant) pada musim pertama menghasilkan organ-organ persediaan makanan di dalam tanah, dan pada musim berikutnya melakukan pertumbuhan yang di akhiri dengan pembungaan. Tumbuhan menahun (perennial plant) akan menghentikan pertumbuhan dan perkembangan (dorman) pada musim dingin, berbunga pada musim berikutnya agar cukup waktu bagi buah untuk berkembang dan matang sebelum atau di awal musim gugur.
Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat erat berhubungan kehidupan tanaman, yang akan mempengaruhi proses-proses fisiologi dalam tanaman. Semua proses fisiologi akan dipengaruhi oleh suhu dan beberapa proses akan tergantung dari cahaya dan temperatur. Penyinaran cahaya terhadap tanaman merupakan salah satu faktor eksternal yaitu faktor dari luar yang mempengaruhi pembungaan (Natania, 2008). Kejadian musiman sangat penting dalam siklus kehidupan sebagian besar tumbuhan. Perkecambahan biji, pembungaan, permulaan dan pengakhiran dormansi tunas merupakan contoh-contoh tahapan dalam perkembangan tumbuhan yang umumnya terjadi pada waktu spesifik dalam satu tahun. Stimulus lingkungan yang paling sering digunakan oleh tumbuhan untuk mendeteksi waktu dalam satu tahun adalah fotoperiode, yaitu suatu panjang relative malam dan siang. Respons fisologis terhadap fotoperiode, seperti pembungaan, disebut fotoperiodisme (photoperiodism) (Campbell, dkk., 1999).
Penemuan fotoperiodisme merangsang banyak sekali ahli fisiologi tanaman untuk mengadakan penyelidikan tentang proses itu lebih jauh dalam usahanya untuk menentukan mekanisme aksi. Mereka segera menemukan bahwa istilah hari pendek dan hari panjang merupakan salah kaprah (misnomer). Interupsi periode hari terang dengan interval kegelapan tidak mempunyai efek mutlak pada proses pembungaan (Natania, 2008).
Faktor temperatur sangat  berpengaruh terhadap tanaman, karena umumnya temperatur mengubah atau memodifikasi respons terhadap fotoperiode pada spesies dan varietas (Thomas dan Raper, 1982). Banyak sepesies membutuhkan periode dingin atau temperaturnya mendekati pembekuan selama 2 sampai 6 minggu agar dapat berbunga pada waktu fotoperiode panjang pada musim semi.

1.2.Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
·         Untuk mengetahui fotoperiodisme pada tumbuhan.
·         Untuk mengetahui peran fitokrom dalam fotoperiodisme.
·         Untuk mengetahui vernalisasi pada tumbuhan.

1.3.Batasan Masalah
Yang menjadi batasan masalah pada makalah ini antara lain adalah pengertian dan mekanisme fotoperiodisme, peran fitokrom dalam fotoperiodisme, dan mekanisme vernalisasi.


BAB II
ISI

2.1. Fotoperiodisme
                Fotoperodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran (panjang pendeknya hari) yang dapat merangsang pembungaan. Istilah fotoperodisme digunakan untuk fenomena dimana fase perkembangan tumbuhan dipengaruhi oleh lama penyinaran yang diterima oleh tumbuhan tesebut. Beberapa jenis tumbuhan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh lamanya penyinaran, terutama dengan kapan tumbuhan tersebut akan memasuki fase generatifnya,misalnya pembungaan. Menurut Lakitan (1994) Beberapa tumbuhan akan memasuki fase generatif (membentuk organ reproduktif) hanya jika tumbuhan tersebut menerima penyinaran yang panjang >14 jam dalam setiap periode sehari semalam, sebaliknya ada pula tumbuhan yang hanya akan memasuki fase generatif jika menerima penyinaran singkat <10 Jam (Mader, 1995).
Berdasarkan panjang hari, tumbuhan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
  1. Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kurang dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan, jagung, kedelai, anggrek, dan bunga matahari.
  2. Tumbuhan hari panjang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran lebih dari 12 jam (14 – 16 jam) sehari. Tumbuhan hari panjang, contohnya kembang sepatu, bit gula, selada, dan tembakau.
  3. Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kira-kira 12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan tebu.
  4. Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsif terhadap panjang hari untuk pembungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi, wortel liar, dan kapas.
Gambar 2.1. Tumbuhan hari netral

 Percobaan yang dilakukan Garner dan Alard pada tahun 1920 di Amerika serikat menemukan bahwa tembakau varietas Maryland Mammoth adalah tumbuhan hari Pendek (short day plant), karena tumbuhan ini nyatanya memerlukan suatu periode terang yang lebih pendek dibandingkan dengan panjang siang hari yang kritis untuk pembungaan, pembungaannya terjadi pada musim dingin. Krisan, poinsettia, dan beberapa varietas kacang kedelai merupakan contoh tumbuhan hari pendek yang pada umumnya berbunga pada akhir musim panas, musim gugur, atau musim dingin. Kelompok lain yang bergantung pada fotoperiode hanya akan berbunga ketika periode terang lebih lama beberapa jam.
 Tumbuhan hari panjang (long day plant) ini umumnya berbunga pada akhir musim semi atau awal musim panas. Bayam, misalnya, memerlukan panjang siang hari 14 jam ata lebih lama. Lobak, selada, iris, dan banyak varietas sereal lain merupakan tumbuhan hari panjang. Perbungaan pada kelompok ke tiga, yaitu tumbuhan hari netral, tidak dipengaruhi oleh fotoperiode. Tomat, padi, dan dandelion adalah contoh tumbuhan hari netral (day neutral plant) yang berbunga ketika mereka mencapai tahapan pematangan tertentu, tanpa memperdulikan panjang siang hari pada waktu itu (Haryanto, 2010). Yang dimaksud dengan panjang hari disini bukan panjang hari secara mutlak, tetapi panjang hari kritis. Tumbuhan hari panjang (LDP) mungkin memiliki panjang hari kritis lebih pendek dari tumbuhan hari pendek (SDP). Dinyatakan bahwa tumbuhan hari panjang akan berbunga apabila memperoleh induksi penyinaran yang sama atau lebih dari panjang harin kritisnya dan sebaliknya tumbuhan hari pendek akan berbunga, apabila memperoleh penyinaran sama atau lebih pendek dari panjang hari kritisnya( Sasmitamihardja,1996). 
Sebelumnya diduga bahwa tumbuhan dirangsang perbungaannya oleh lamanya panjang hari (day length). Pada tahun 1940-an peneliti menemukan bahwa sesungguhnya panjang malam atau panjang kegelapan tanpa selingan cahaya atau niktoperiode, dan bukan panjang siang hari, yang mengotrol perbungaan dan respons lainnya terhadap fotoperiode (franklin, dkk, 1991). Banyak peneliti  bekerja dengan cocklebur, yaitu suatu tumbuhan hari pendek yang berbunga hanya ketika panjang siang hari 16 jam ata lebih pendek (dan panjangnya malam paling tidak 8 jam). Jika siang hari fotoperiode diselang dengan pemberian kegelapan yang singkat, tidak ada pengaruh pada perbungaan. Namun, jika bagian malam atau periode gelap dari fotoperiode disela dengan beberapa menit penerangan cahaya redup, tumbuhan tersebut tidak akan berbunga. Coklebur memerlukan paling tidak 8 jam kegelapan secar terus menerus supaya dapat berbunga. Tumbuhan hari pendek sesungguhnya adalah tumbuhan malam panjang, tetapi istilah yang lebih kuno tersebut tertanam kuat dalam jargon fisiologi tumbuhan. Tumbuhan hari panjang sesungguhnya tumbuhan malam pendek, apabila ditanam pada fotoperiode malam panjang yang biasanya tidak menginduksi perbungaan, tumbuhan hari panjang akan berbunga jika periode kegelapan terus menerus diperpendek selama beberapa menit dengan pemberian cahaya.
Dengan demikian, respon fotoperiode tergantung pada suatu panjang malam kritis. Tumbuhan hari pendek akan berbunga jika durasi malam hari lebih lama di banding dengan panjang kritis (8 jam untuk cocklebur), tumbuhan hari panjang akan berbunga ketika malam hari lebih pendek dibanding dengan panjang malam kritis. Industri penanaman bunga telah menerapkan pengatahuan ini untuk menghasilkan bunga diluar musimnya. Chrythemum misalnya adalah tumbuhan hari pendek yang biasanya berbunga pada musim gugur, tetapi perbungaannya dapat ditunda sampai hari ibu (amerika serikat, red) pada bulan mei dengan cara menyelang setiap malam panjang dengan seberkas cahaya, yang mengubah satu malam panjang menjadi malam pendek.
Pada banyak spesies tumbuhan hari pendek atau tumbuhan hari panjang, perbungaan cukup diinduksi dengan memaparkan sebuah daun tunggal terhadap fotoperiode yang tepat. Meskipun hanya satu daun dibiarkan bertaut pada tumbuhan, fotoperiode akan tetap terdeteksi dan tunas bunga akan diinduksi. Namun, jika semua daun dibuang, tumbuhan akan buta terhadap fotoperiode. Transmisi meristem dari pertumbuhan vegetatif  sampai ke perbungaan. Apapun kombinasi petunjuk lingkungan (seperti fotoperiode) dan sinyal internal (seperti hormon) yang diperlukan untuk perbungaan, hasilnya adalah transmisi meristem tunas dari keadaan vegetatif menjadi satu keadaan perbungaan. Transmisi ini memerlukan perubahan ekspresi gen-gen yang mengatur pembentukan pola. Gen identitas meristem yang menentukan bahwa tunas akan membentuk bunga terlebih dahulu dan bukan membentuk tunas vegetatif, harus diaktifkan (di-on-kan) terlebih dahulu. Kemudian gen identitas organ-organ bunga kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik diaktifkan pada daerah meristem yang tepat. Penelitian mengenai perkembangan bunga sedang berkembang pesat, yang bertujuan untuk mengidentifikasi jalur transduksi sinyal yang menghubungkan petunjuk-petunjuk seperti fotoperiode dan perubahan hormonal dengan ekspresi gen yang diperlukan untuk perbungaan.

2.1.1. Induksi Fotoperiodisme
            Induksi fotoperiodisme sangat penting dalam perbungaan atau lebih tepat disebut induksi panjang malam kritisnya. Respon tumbuhan terhadap induksi fotoperioda sangat bervariasi, ada tumbuhan untuk perbungaannya cukup memperoleh induksi dari fotoperioda satu kali saja, tetapi tumbuhan lain memerlukan induksi lebih dari satu kali. Xanthium strumarium untuk perbungaannya memerlukan 8 x induksi fotoperioda yang harus berjalan terus menerus. Apabila tanaman ini sebelum memperoleh induksi lengkap, mendapat gangguan atau terputus induksi fotoperiodanya, maka tanaman itu tidak akan berbunga. Kekurangan induksi fotoperioda tidak dapat ditambahkan demikian saja, karena efek fotoperioda yang telah diterima sebelumnya akan menjadi hilang. Untuk memperoleh induksi lengkap, tanaman tersebut harus mengulangnya dari awal kembali.
            Di dalam menerima rangsangan fotoperioda ini, organ daun diketahui sebagai organ penerima rangsangan. Ada 4 tahap yang terjadi dalam resepon perbungaan terhadap rangsangan fotoperioda, pertama menerima rangsangan, kedua transformasidari organ penerima rangsangan menjadi beberapa polametabolisme baru yang berkaitan dengan penyediaan bahan untuk perbungaan, ketiga pengangkuatan hasil metabolisme dan keempat terjadinya respon pada titik tumbuh untuk menghasilkan perbungaan.
            Beberapa percobaan dalam hubungan dengan rangsangan ini, menunjukkan bahwa apabila daun dibuang segera setelah induksi selesai, tidak akan terjadi perbungaan , sedangkan apabila daun dibuang setelah beberapa jam sehabis selesai induksi, tumbuhan tersebut dapat berbunga. Rangsangan yang diterima oleh satu tumbuhan dapat diteruskan pada tumbuhan lain yang tidak memperoleh induksi, melalui cara tempelan (grafting) sehingga tumbuhan tersebut dapat berbunga. Hormon yang berperan dalam perbungaan ini adalah florigen, yang masih merupakan hormon hipotesis.

2.2. Fitokrom
Fitokrom adalah reseptor cahaya, suatu pigmen yang digunakan oleh tumbuhan untuk mencerap (mendeteksi) cahaya. Sebagai sensor, ia terangsang oleh cahaya merah dan infra merah, cahaya infra merah memiliki panjang gelombang yang lebih besar dari pada cahaya merah. Fitokrom ditemukan pada semua tumbuhan. Molekul yang serupa juga ditemukan pada bakteri. Tumbuhan menggunakan fitokrom untuk mengatur beberapa aspek fisiologi adaptasi terhadap lingkungan, seperti fotoperiodisme (pengaturan saat berbunga pada tumbuhan), perkecambahan, pemanjangan dan pertumbuhan kecambah (khususnya pada dikotil), morfologi daun, pemanjangan ruas batang, serta pembuatan (sintesis) klorofil. Secara struktur kimia, bagian sensor fitokrom adalah suatu kromofor dari kelompok bilin (jadi disebut fitokromobilin), yang masih sekeluarga dengan klorofil atau hemoglobin (kesemuanya memiliki kerangka heme). Kromofor ini dilindungi atau diikat oleh apoprotein, yang juga berpengaruh terhadap kinerja bagian sensor. Kromofor dan apoprotein inilah yang bersama-sama disebut sebagai fitokrom.
Penelitian rintisan terhadap pengaruh cahaya merah dan merah jauh terhadap pertumbuhan tumbuhan antara 1940-1960 dilakukan oleh Sterling Hendricks dan Harry Borthwick dari Pusat Penelitian Pertanian Beltsville di Maryland, dengan menggunakan spektrograf dari bahan-bahan sisa Perang Dunia Kedua. Dari hasilnya diketahui bahwa cahaya merah memacu perkecambahan dan memicu tanggap untuk pembungaan. Lebih lanjut, cahaya merah jauh berpengaruh sebaliknya terhadap pengaruh cahaya merah. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa bagian yang peka terhadap rangsang cahaya ini berada di daun.

2.2.1. Mekanisme Kerja Fitokrom
Banyak hipotesis diketemukan tentang mekanisme kerja dari fitokrom. Salah satunya menyatakan kerja biologi pada mekanisme kerja fitokrom ini terjadi setelah terbentuknya Pfr(phytocrome infra red).
        merah
Pr <=============> Pfr --------------- > kerja biologi

                          merah jauh
            Sumber fitokrom dapat diperoleh dari biji-biji yang etiolasi, sedangkan pada jaringan normal hanya sedikit. Pada beberapa jaringan, perubahan Pr dan Pfr tidak selalu diikuti dengan terjadinya respon morfogenetik. Perubahan Pr <-------> Pfr prosesnya tidak sederhana seperti ditunjukkan di atas. Pengukuran dengan spektrofotometer menunjukkan bahwa Pfr mungkin dipecah oleh cahaya merah jauh, tidak menunjukkan hubungan secara kuantitatif dengan hilangnya Pfr. Diduga mungkin Pfr berubah menjadi suatu derivat yang secara fotokimia tidak aktif.
                       Tidak aktif
                               x


Pr <=======> Pfr---------> Pfr x-------------> kerja biologi
                  Merah
                    Jauh
                                         Dirombak
            Selain mengatur pembungaan, siklus pertukaran Pr                Pfr kini juga diketahui mengatur fungsi pertumbuhan yang lain. Siklus ini misalnya merangsang perkecambahan biji benih dan memperlambat pamanjangan batang. Keadaan Pfr dengan jelas menunjukkan kepada biji bahwa terdapat cahaya matahari dan keadaanya sesuai bagi perkecambahan. Setelah perkecambahan, keadaan Pr menandakan bahwa pemanjangan batang perlu terjadi untuk memungkinkan tumbuhan menerima cahaya matahari. Anak benih yang ditanam dalam keadaan gelap akan mengetiolat, yaitu batangnya bertambah panjang dan daunnya juga tetap kecil. Sebaiknya anak benih dibukakan terhadap cahaya matahari dan Pr ditukarkan kepada Pfr. Anak benih mulai tumbuh secara normal daunnya bertambah besar dan batangnya bercabang.

2.3. Vernalisasi
            Vernalisasi merupakan induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan sebelum mulai perbungaan. Vernalisasi sebenarnya tidak khusus untuk perbungaan, tetapi diperlukan pula oleh biji-biji tumbuhan tertentu sebelum perkecambahan. Respon terhadap suhu dingin ini bersifat kualitatif (mutlak), yaitu pembungaan akan terjadi atau pembungaan tidak akan terjadi. Lamanya periode dingin haruslah beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung sepesiesnya. Spesies semusim pada musim dingin, dua tahunan, dan banyak spesies tahunan dari daerah beriklim sedang yang membutuhkan vernalisasi semacam itu agar berbunga. Biji, umbi, dan kuncup banyak spesies tanaman di daerah beriklim sedang membutuhkan stratifikasi (beberapa minggu diletakkan dalam penyimpanan yang dingin dan lembab) untuk mematahkan dormansi. Jadi vernalisasi secara harfiah berarti membuat  suatu keadaan tumbuhan seperti musim semi, yaitu menggalakkan pembungaan sebagai respon terhadap hari-hari yang panjang selama musim semi (Gardner,dkk, 1991).

2.3.1. Letak Vernalisasi
            Bukti-bukti bahwa rangsanagan dingin dihasilkan di dalam meristem atau kuncup dan bukan didalam daun diperoleh dari empat fenomena:
  1. Biji yang telah mengalami imbibisi mudah divernalisasi
  2. Pengenaan suhu dingin hanya pada daun, akar, atau batang tidak efektif.
  3. Biji yang sedang berkembang pada tanaman induk dapat dan seringkali sudah tervernalisasi apabila tepat pada waktu suhu dingin berlangsung sebelum biji menjadi kering.
  4. Tanaman yang ditanam dari kuncup liar suatu daun yang sudah tervernalisasi telah tergalakkan untuk berbunga (Gardner,dkk, 1991).
2.3.2. Hilangnya vernalisasi
            Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan pengenaan kondisi yang parah, seperti kekeringan atau temperatur tinggi (30-35̊C) selama periode beberapa hari. Pada percobaan yang dilakukan oleh Lysenko di Uni soviet, mengenai biji serealia musim dingin yang divernalisasi dan dipertahankan biji dalam keadaan kering menyebabkan proses devernalisasi (penghilangan vernalisasi). Percobaan yang dilakukan Lysenko itu tidak berlaku di mana saja, mungkin karena telah tersedia kultivar tipe musim semi yang teradaptasi.
            Vernalisasi pada rumput-rumputan tahunan tertentu, ternyata lebih kompleks, selain dingin, juga diperlukan beberapa fotoperiode pendek.  Contohnya pada rumput orchard, penggalakan pembungaan terjadi secara alamiah, dan diperlukan suhu ingin untuk menggalakkan pembungaan pada sepesies-sepesies tersebut (Gardner,dkk, 1991).

2.3.4. Interaksi Vernalisasi dengan faktor lain
            Chailakhyan menyatakan bahwa hanya tumbuhan di daerah temperatur yang mengalami musim dingin, dapat kita harapkan memerlukan vernalisasi, dan ini adalah tumbuhan hari panjang (LPD). Tumbuhan hari pendek biasanya berada di daerah subtropis.
            Ada sebuah interaksi yang ganjil pada Petkus rye (secale cereale), kebutuhan akan vernalisasi dapat digantikan dengan perlakuan hari pendek (short day), tetapi apabila tanaman ini telah memperoleh vernalisasi, dia memerlukan induksi hari panjang untuk pembungaannya. Sama halnya dengan Hyoscyamus niger memerlukan vernalisasi apabila dalam tahap roset dan perbungaan akan terjadi hanya pada hari panjang.

2.3.5. Organ Penerima Rangsangan Vernalisasi
Organ tumbuhan yang dapat menerima rangsangan vernalisasi sangat bervariasi yaitu biji, akar, embrio, pucuk batang. Apabila daun tumbuhan yang memerlukan vernalisasi mendapat perlakuan dingin, sedangkan bagian pucuk batangnya dihangatkan, maka tumbuhan tidak akan berbunga (tidak terjadi vernalisasi).
            Vernalisasi merupakan suatu proses yang kompleks yang terdiri dari beberapa proses. Pada Secale cereale, vernalisasi pada tanaman ini terjadi di dalam biji dan semua jaringan yang dihasilkannya berasal dari meristem yang tervernalisasi. Pada Chrysantheum, vernalisasi hanya dapat terjadi pada meristemnya.
            Zat yang bertanggung jawab dalam meneruskan rangsangan vernalisasi disebut vernalin, yaitu suatu hormon hipotesis karena sampai saat ini belum pernah diisolasi. Di dalam hal perbungaan GA dapat mengganti fungsi vernalin, meskipun GA tidak sama dengan vernalin. Pada H. Niger, pemberian GA dapat menggantikan vernalisasi:
Tumbuhan roset          GA      vegetatif                      berbunga
Tumbuhan roset                      vernalisasi                     berbunga


            Menurut hipotesis Chailkhyan, hal tersebut dapat terjadi sebagai berikut:
Pada tumbuhan hari panjang, apabila mengalami vernalisasi akan menghasilkan vernalin, dan pabila selanjutnya memperoleh induksi hari panjang, vernalin akan diubah menjadi giberelin. Giberelin dengan antesin yang sudah tersedia pada tumbuhan hari panjang akan menghasilkan perbungaan. Jadi vernalisasi adalah suatu proses yang aerob, tidak akan terjadi vernalisasi kalau atmosfirnya diganti dengan Nitrogen. Disamping itu vernalisasi merupakan proses kimia yang tidak biasa, karena terjadi reaksi yang cepat pada suhu dingin (Sasmitamihardja, dkk, 1996).
           
BAB III
KESIMPULAN

  • Fotoperodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran atau  panjang pendeknya hari yang dapat merangsang pembungaan. Berdasarkan panjang hari, tumbuhan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1.      Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kurang dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan, jagung, kedelai, anggrek, dan bunga matahari.
2.      Tumbuhan hari panjang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran lebih dari 12 jam (14 – 16 jam) sehari. Tumbuhan hari panjang, contohnya kembang sepatu, bit gula, selada, dan tembakau.
3.      Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kira-kira 12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan tebu.
4.      Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsif terhadap panjang hari untuk pembungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi, wortel liar, dan kapas.
Penyelidikan sebenarnya telah menunjukkan bahwa panjang gelaplah yang penting, mengganggu waktu gelap dengan adanya cahaya dapat menghalangi pembungaan pada tumbuhan hari pendek.
  • Fitokrom merupakan reseptor cahaya, suatu pigmen yang digunakan oleh tumbuhan untuk mencerap (mendeteksi) cahaya. Tumbuhan menggunakan fitokrom untuk mengatur beberapa aspek fisiologi adaptasi terhadap lingkungan, seperti fotoperiodisme (pengaturan saat berbunga pada tumbuhan), perkecambahan, pemanjangan dan pertumbuhan kecambah (khususnya pada dikotil), morfologi daun, pemanjangan ruas batang, serta pembuatan (sintesis) klorofil. Secara struktur kimia, bagian sensor fitokrom adalah suatu kromofor dari kelompok bilin (jadi disebut fitokromobilin), yang masih sekeluarga dengan klorofil atau hemoglobin (kesemuanya memiliki kerangka heme).
  • Vernalisasi merupakan induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan sebelum mulai perbungaan. Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan pengenaan kondisi yang parah, seperti kekeringan atau temperatur tinggi (30-35C).  Apabila daun tumbuhan yang memerlukan vernalisasi mendapat perlakuan dingin, sedangkan bagian pucuk batangnya dihangatkan, maka tumbuhan tidak akan berbunga (tidak terjadi vernalisasi). Zat yang bertanggung jawab dalam meneruskan rangsangan vernalisasi disebut vernalin, yaitu suatu hormon hipotesis karena sampai saat ini belum pernah diisolasi. Disamping itu vernalisasi merupakan proses kimia yang tidak biasa, karena terjadi reaksi yang cepat pada suhu dingin.
DAFTAR PUSTAKA

Clerget, dkk., 2007, Surprising flowering response to photoperiod: Preliminary characterization of West and Central African pearl millet germplasm, Journal Icarisat, 5: 1-4.

Bisth, dkk., 2009, Photoperiodic Effect on Seed Germination in Pyrethrum (Chrysanthemum cinerariaefolium vis.) under the Influence of Some Growth Regulators, Journal of American Science 2009; 5 (4): 147-150

Dennis,dkk., 2009, vernalization cereals, Journal of Biology, 8: 57

Dwijoseputro, D.,1978, Pengantar Fisiologi Tumbuhan, PT Gramedia, Jakarta.

Gardner, dkk., 1991, Fisiologi Tanaman Budidaya, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Li, dkk., 2010, Effect Of 5- Azac On Vernalization And Flower Ball Development In Broccoli ( Brassica Oleracea Var. Italica), Journal Bot, 42(3): 1889-1893.

Mader, dkk.,1995, Biologi, Evolusi, Keanekaragaman dan Lingkungan 3, Penerbit Dewan Bahasa & Pustaka Kuala Lumpur, Malaysia.

Perez, dkk., 2008, Differential and interactive effects of temperature and photoperiod on budburst and carbon reserves in two co-occurring Mediterranean oaks, German Botanical Society and The Royal Botanical Society of the Netherlands,11: 142-151.

Putra, dkk., 2010, Fotoperiodisme dan Vernalisasi,     http://rikiharyanto.blogspot.com/

Sanusi, A., 2009, Respon Tanaman Terhadap Penyinaran. http://sanoesi.wordpress.com/about/

Sasmitamihardja, dkk., 1996, Fisiologi Tumbuhan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, FMIPA-ITB, Bandung.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar